Thoughts On : Bridezilla


"Di Indonesia, kita yang bakal married, tapi wedding-nya punya orang tua kamu", sebuah pernyataan menohok yang keluar dari teman saya, Damar.

Sesaat napas saya berhenti. Untungnya napas saya kembali lagi... Menurut saya pernyataan teman saya ini tepat sekali! Seperti memberikan pencerahan kepada pemikiran-pemikiran saya. Pencerahan yang agak menyedihkan sebetulnya. Artinya saya hanya bisa memberi saran-saran, yang selebihnya memberi keputusan final pastinya orang tua. Saya jadi sadar betul bahwa memang saya akan diposisikan seperti itu, hanya menjadi pemberi masukan bagi orang tua saya. 

Jujur lah para perempuan, kamu pasti sempat membayangkan konsep pernikahanmu dengan detail-detail lucu a la Pinterest! Iya kaan??? Saya pun begitu. Konsep outdoor wedding yang sederhana, gaun pernikahan yang panjang menjuntai, dekorasi bunga dan buah-buahan dengan detail-detail yang lucu pasti sudah kamu pin dalam halaman Pinterest-mu. Sayangnya keinginan itu akan susah terwujud dengan sistem pelaksanaan pernikahan Indonesia.

Memang sistem pelaksanaan pernikahan seperti ini bukan hal baru dalam kebudayaan kita, sepertinya sejak dari jaman nenek buyut kita dulu sistem seperti ini lazim dilaksanakan. Setahu saya memang di kebanyakan kebudayaan Indonesia, pesta atau resepsi pernikahan adalah hajat milik orang tua pengantin perempuan, bukan si pengantin perempuan dan pengantin laki-laki. Biasanya juga sering saya lihat bahwa orang tua akan pesta besar-besaran di pernikahan anak perempuannya, seringnya anak perempuan yang paling tua. 

Namun di waktu-waktu belakangan ini saya melihat bahwa sistem pelaksanaan pernikahan kuno ini mulai menuai masalah antara anak dan orang tua. Saya mendengar banyaaaak sekali cerita tentang konflik di generasi saya yang muncul diantara calon pengantin wanita dan kedua orang tuanya ketika mempersiapkan pernikahannya. Saya dan Damar lanjut berbicara, dan kami sampai di kesimpulan bahwa memang hal ini menjadi masalah generasi kita. Saya sudah mendengar beberapa cerita dari teman-teman tentang betapa stressnya calon pengantin wanita ketika menghadapi orang tua mereka dalam persiapan pernikahan. Banyak sekali yang menangis hampir setiap minggu, bahkan ada yang sampai kabur dari rumah. Sebaliknya cerita-cerita seperti ini tidak saya dengar generasi bapak/ibu/oom/tante saya. Apakah sifat generasi yang jadi penyebabnya?

Jika dimasukkan ke dalam pembagian generasi, saya termasuk dalam Generation Y. Kalau kamu lahir diantara awal 1980an dan awal 2000an maka kamu juga masuk ke dalam Generation Y. Wikipedia memiliki penjelasan yang cukup komprehensif tentang ini. Sedangkan generasi bapak/ibu/oom/tante saya kemungkinan termasuk ke dalam Baby Boomers. Prediksi tersebut mungkin memang harus dilihat lebih dalam, namun sudah pasti bahwa generasi saya dan orang tua saya berbeda jauh.

Perlu diingat bahwa Generasi Y hidup di era perpindahan dari elektronik ke digital. Generasi ini bahkan disebut juga Net Generation. Saya pun besar dengan ada komputer di rumah, dan menjadi sangat aktif di dunia maya sejak SD kelas 6. Hal tersebut membuat semua informasi yang saya dapat dari internet sebagai referensi tambahan. Maka tak heran kalau referensi saya akan jauh berbeda dengan referensi orang tua saya. Dalam hal ini, referensi saya mengenai pelaksanaan sebuah pesta pernikahan pasti akan jauh berbeda dengan referensi orang tua saya akan hal tersebut. Referensi saya adalah pesta pernikahan a la Pinterest, sedangkan referensi orang tua saya adalah pernikahan adat Jawa seperti dulu nenek/kakek saya laksanakan untuk mereka, serta pernikahan pada umumnya yang dilaksanakan saat ini oleh teman/kerabat orang tua saya untuk anak mereka. Tak heran jika para calon pengantin perempuan di generasi saya sampai ingin kabur dari rumah.

Seperti itulah situasinya menurut saya. Kenyataan yang agak pahit untuk momen paling ditunggu bagi para calon pengantin perempuan Generasi Y. Menurut saya, para calon pengantin perempuan Generasi Y berada di masa transisi, dalam hal ini transisi referensi pelaksanaan pernikahan. Dimana-mana proses transisi pasti tidak mudah, dan pasti ada gesekan-gesekan di dalamnya. Untuk para calon pengantin perempuan yang sedang membaca tulisan ini, mungkin yang perlu diingat adalah untuk menikmati setiap prosesnya, ingat bahwa kamu sayang kedua orang tuamu, dan yang paling penting adalah ingat bahwa kamu akan menikah kemudian menjadi seorang istri... :)


Thoughts On : Pro-Aging


Katanya "beauty is timeless"? Sepertinya itu cuma di bibir saja. Memang kebanyakan orang di masyarakat kita berpikir bahwa kecantikan hanya ada di saat muda. Bohong kalau saya bilang selama ini saya bukan termasuk di golongan tersebut. 

Kecantikan dalam budaya kita sepertinya selalu terkait dengan dua hal : kulit putih atau kulit bebas tanda-tanda penuaan (keriput dan flek hitam). Saya pribadi saat ini sudah di titik tidak peduli lagi dengan paham-paham bahwa cantik itu harus putih. Setelah belasan tahun dipaksa percaya hal tersebut, saya akhirnya bisa memilih dengan sadar untuk tidak mempercayainya. Saya akhirnya memilih untuk percaya bahwa kecantikan datang dari kesehatan. Yaitu kulit yang cantik dapat terwujud dari kulit yang sehat.

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah artikel dan menemukan seorang sosok yang semakin mencerahkan pemahaman saya tentang kecantikan. Cindy Joseph, seorang model berumur 63 tahun.

Tak hanya penampilannya yang membuat saya kagum, pemikirannya tentang proses penuaan dan kecantikan membuat saya berharap saya dapat berpemahaman tentang pro-aging (bukan anti-aging) sepertinya, suatu saat nanti ketika saya menjadi semakin menua. Kata-katanya yang paling keren menurut saya adalah ketika dia mengatakan, "I do not accept my age — I celebrate it! I wear my wrinkles, silver hair, and age spots as medals of honor.

Saya sangat menyukai bahwa dia menyebutkan rambutnya berwarna silver bukan grey. Dari penggunaan kata tersebut saja sudah dapat terasa bagaimana ia menghargai proses penuaan. Memang mungkin sudah saatnya untuk lebih santai serta bijak dalam menghadapi penuaan. Seperti kata Cindy Joseph, "Aging is just another word for living." Enjoy life!



First Post to the World!


Tanggal 18 Agustus 2013 jam 16:21 dan blog ini lahir!

Campur aduk perasaaan saya saat ini ketika sedang menulis ini. Excited tapi takut tapi khawatir. Saya merasa harus punya blog sejak lama, tapi selalu dihentikan oleh banyak pemikiran, ketidakyakinan dan kekhawatiran. Pertanyaan-pertanyaan dasar seperti "konsep blognya apa?", "lingkup dan batasan isinya apa?", "namanya apa?", "pakai bahasa apa?", selama ini terbiarkan tak terjawab dan membuat niatan menulis blog saya selalu terundur. Beberapa pertanyaan tersebut pun mungkin belum juga terjawab hingga saat ini.

Saya sering kagum dengan orang-orang yang bisa menulis dengan effortless dan tulisannya begitu bagus. Sayangnya saya bukan salah satu tipe orang itu. Tetapi justru karena menulis bukanlah salah satu bakat alami saya, saya ingin mendalaminya. Ibarat ikan, saya ingin menjadi ikan yang tidak hanya bisa berenang, tapi juga ikan yang bisa berenang gaya kodok.

Mari berenang gaya kodok!
Powered by Blogger.